HUBUNGAN ANTARA BEROLAHRAGA TERATUR DENGAN TINGKAT STRES PADA MAHASISWA
TINGKAT SATU FISIOTERAPI POLITEKNIK KEMENTERIAN KESEHATAN SURAKARTA ANGKATAN
2012-2013
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Sebagian
Persyaratan
Menyelesaikan Program
Pendidikan Diploma IV Fisioterapi
Diajukan oleh :
Istiazah
P 27226012039
PROGRAM STUDI DIPLOMA IV
TRANSFER
JURUSAN FISIOTERAPI
POLITEKNIK KEMENTERIAN KESEHATAN
SURAKARTA
TAHUN 2013
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Stres
1. Pengertian stres
Stres
merupakan suatu ketidakseimbangan yang besar antara permintaan yang berupa
fisik ataupun psikologis dengan kemampuan respon di mana terjadinya kegagalan
untuk memenuhi permintaan yang memberi konsekuensi yang esensial. Stres dapat
mengganggu kondisi fisik dan kesehatan mental kita (Krohne, 2002).
Menurut
Lazarus & Folkman (1984) stres adalah keadaan internal yang dapat
diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial
yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan
individu untuk mengatasinya. Menurut Hans Selye (dalam Hawari, 2002), stres
adalah respon tubuh yang sifatnya tidak spesifik terhadap setiap tuntutan beban
atasnya.
2. Fisiologi stres
Cannon (dalam Ogden, 2004)
memberikan deskripsi mengenai bagaimana reaksi tubuh terhadap suatu peristiwa
yang mengancam. Ia menyebutkan reaksi tersebut sebagai fight-or-flight response karena respon fisiologis mempersiapkan
individu untuk menghadapi atau menghindari situasi yang mengancam tersebut. Fight-or-flight response menyebabkan
individu dapat berespon dengan cepat terhadap situasi yang mengancam. Akan
tetapi bila stres yang tinggi terus menerus muncul dapat membahayakan kesehatan
individu.
Hans Selye (dalam Niven, 2002)
mempelajari akibat yang diperoleh bila stresor terus menerus muncul. Ia
mengembangkan istilah General Adaptation
Syndrome (GAS) yang terdiri atas rangkaian tahapan reaksi fisiologis
terhadap stresor yaitu:
a. Fase reaksi peringatan (Alarm reaction)
Pada fase ini individu secara
fisiologis merasakan adanya ketidakberesan seperti jantungnya berdegup, keluar
keringat dingin, muka pucat, leher tegang, nadi bergerak cepat dan sebagainya.
Fase ini merupakan pertanda awal orang terkena stres.
b. Fase resistensi (Stage of resistence)
Pada fase ini tubuh membuat
mekanisme perlawanan pada stres, sebab pada tingkat tertentu, stres akan
membahayakan. Tubuh dapat mengalami disfungsi, bila stres dibiarkan
berlarut-larut. Selama masa perlawanan tersebut, tubuh harus cukup tersuplai
oleh gizi yang seimbang, karena tubuh sedang melakukan kerja keras.
c. Fase kelelahan (Stage of exhaustion)
Fase disaat orang sudah tak mampu
lagi melakukan perlawanan. Akibat yang parah bila seseorang sampai pada fase
ini adalah penyakit yang dapat menyerang bagian – bagian tubuh yang lemah.
3. Tipe stres
Stres memiliki
efek negatif, tetapi kadang-kadang stres dapat memiliki efek positif yang
menguntungkan kesehatan. Stres terbagi atas dua tipe yaitu distress dan eustress. Distress adalah stres yang merugikan dan
memiliki efek negatif terhadap tubuh kita sedangkan eustress adalah stres positif yang menguntungkan kesehatan (Ogden,
2004).
Menurut Australian Psychological Society (2012),
stres dibagi menjadi stres akut, stres akut episodik, dan stres kronik. Stres
akut adalah stres yang terjadi hanya sesaat setelah seseorang mengalami suatu
kejadian. Stres akut episodik sering terjadi pada mahasiswa yang akan mengikuti
ujian. Mereka akan mengalami stres yang dimulai pada saat pengumuman waktu
ujian sampai ujian tersebut selesai. Stres kronik adalah stres yang berlangsung
dalam jangka waktu yang lama.
4. Klasifikasi stres berdasarkan etiologinya
a. Stres kepribadian (Personality stress)
Stres
kepribadian adalah stres yang dipicu oleh masalah dari dalam diri seseorang.
Berhubungan dengan cara pandang pada masalah dan kepercayaan atas dirinya.
Orang yang selalu bersikap positif akan memiliki risiko yang kecil terkena
stres kepribadian.
b. Stres psikososial (Psychosocial stress)
Stres
psikososial adalah stres yang dipicu oleh hubungan dengan orang lain di
sekitarnya ataupun akibat situasi sosialnya. Contohnya stres ketika
mengadaptasi lingkungan baru, masalah keluarga, stres macet di jalan raya dan
lain-lain.
c. Stres bio-ekologi (Bio-ecological stress)
Stres
bio-ekologi adalah stres yang dipicu oleh dua hal. Hal yang pertama adalah
ekologi atau lingkungan seperti polusi serta cuaca. Sedangkan hal yang kedua
adalah kondisi biologis seperti menstruasi, demam, asma, jerawatan, dan
lain-lain.
d. Stres pekerjaan (Job stress)
Stres
pekerjaan adalah stres yang dipicu oleh pekerjaan seseorang. Persaingan di
kantor, tekanan pekerjaan, terlalu banyak kerjaan, target yang terlalu tinggi,
usaha yang diberikan tidak berhasil, persaingan bisnis adalah beberapa hal umum
yang dapat memicu munculnya stres akibat karir pekerjaan.
e. Stres mahasiswa (Student stress)
Stres
mahasiswa itu dipicu oleh dunia perkuliahan. Sewaktu perkuliahan terdapat tiga
kelompok stresor yaitu stresor dari segi personal dan sosial, gaya hidup dan
budaya, serta stresor yang dicetuskan oleh faktor akademis kuliah itu sendiri
(Rice, 1999 dalam Pin, 2011).
5. Tahapan stres
Gejala-gejala
stres pada diri seseorang seringkali tidak disadari karena perjalanan awal
tahapan stres timbul secara lambat dan baru dirasakan bilamana tahapan gejala
sudah lanjut dan mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari baik di rumah,
tempat kerja ataupun di pergaulan lingkungan sosial (Hawari, 2002).
Dr. Robert J.
Van Amber pada tahun 1979 (dalam Hawari, 2002) dalam penelitiannya membagi
tahapan-tahapan stres sebagai berikut:
a. Stres tahap I
Tahapan ini
merupakan tahapan stres yang paling ringan dan biasanya disertai dengan
perasaan-perasaan sebagai berikut: (1) semangat bekerja besar, berlebihan (over acting), (2) penglihatan tajam
tidak sebagaimana biasanya, (3) merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari
biasanya, namun tanpa disadari cadangan energi dihabiskan (all out) disertai rasa gugup yang berlebihan pula, (4) merasa
senang dengan pekerjaannya itu dan semakin bertambah semangat, namun tanpa
disadari cadangan energi semakin menipis.
b. Stres tahap II
Dalam tahapan ini dampak stres
yang semula menyenangkan sebagaimana diuraikan pada tahap I di atas mulai
menghilang dan timbul keluhan-keluhan yang disebabkan cadangan energi tidak
lagi cukup sepanjang hari karena tidak cukup waktu untuk beristirahat.
Istirahat antara lain dengan tidur yang cukup bermanfaat untuk mengisi atau
memulihkan cadangan energi yang mengalami defisit.
Keluhan-keluhan yang sering
dikemukakan oleh seseorang yang berada pada stres tahap II adalah sebagai
berikut: (1) merasa letih sewaktu bangun pagi, (2) merasa mudah lelah sesudah
makan siang, (3) lekas merasa capai menjelang sore hari, (4) sering mengeluh
lambung atau perut tidak nyaman (bowel
discomfort), (5) detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar), (6)
otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang, (6) tidak bisa santai.
c. Stres tahap III
Bila seseorang
tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa menghiraukan keluhan-keluhan
sebagaimana diuraikan pada stres tahap II tersebut di atas, maka yang
bersangkutan akan menunjukkan keluhan-keluhan yang semakin nyata dan mengganggu
yaitu: (1) gangguan lambung dan usus semakin nyata, misalnya gastritis dan
diare, (2) ketegangan otot-otot semakin terasa, (3) perasaan ketidaktenangan
dan ketegangan emosional semakin meningkat, (4) gangguan pola tidur (insomnia), (5) koordinasi tubuh terganggu.
Pada tahapan
ini seseorang sudah harus berkonsultasi pada dokter untuk memperoleh terapi
atau bisa juga beban stres hendaknya dikurangi.
d. Stres tahap IV
Tidak jarang
seseorang pada waktu memeriksakan diri ke dokter sehubungan dengan keluhan-keluhan
stres pada tahap III di atas, oleh dokter dinyatakan tidak sakit karena tidak
ditemukan kelainan-kelainan fisik pada organ tubuhnya.
Bila hal ini
terjadi dan yang bersangkutan terus memaksakan diri untuk bekerja tanpa
mengenal istirahat, maka gejala stres tahap IV akan muncul: (1) untuk bertahan
sepanjang hari saja sudah terasa amat sulit, (2) aktivitas pekerjaan yang
semula menyenangkan dan mudah diselesaikan menjadi membosankan dan terasa lebih
sulit, (3) semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan untuk
merespons secara memadai, (4) ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin
sehari-hari, (5) gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi yang
menegangkan, (6) seringkali menolak ajakan karena tidak ada semangat dan gairah,
(7) daya ingat dan konsentrasi menurun, (8) timbul perasaan takut dan cemas
yang tidak dapat dijelaskan apa penyebabnya.
e. Stres tahap V
Bila keadaan
berlanjut, maka akan terjadi stres tahap V yang ditandai dengan hal-hal
berikut: (1) kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam (physical and psychological exhaustion),
(2) ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan
sederhana, (3) gangguan sistem pencernaan semakin berat (gastro-intestinal disorder), (4) timbul perasaan takut dan cemas
yang semakin meningkat, mudah bingung dan panik.
f. Stres tahap VI
Tahapan ini
merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami serangan panik dan perasaan
takut mati. Tidak jarang orang yang mengalami stres tahap VI ini berulang kali
dibawa ke Unit Gawat Darurat bahkan ke ICCU, meskipun pada akhirnya dipulangkan
karena tidak ditemukan kelainan fisik organ tubuh.
Gambaran stres
tahap ini adalah sebagai berikut: (1) debaran jantung teramat keras, (2) susah
bernafas, (3) sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat bercucuran, (4)
ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan, (5) pingsan atau collapse.
6. Tingkat stres
Menurut Rasmun
(dalam Carolin, 2010), stres dibagi menjadi tiga tingkatan. Stres ringan adalah
stres yang tidak merusak aspek fisiologis dari seseorang. Stres ringan umumnya
dirasakan oleh setiap orang misalnya lupa, ketiduran, dikritik, dan kemacetan.
Stres ringan biasanya hanya terjadi dalam beberapa menit atau beberapa jam.
Situasi ini tidak akan menimbulkan penyakit kecuali jika dihadapi terus
menerus.
Stres sedang
dan stres berat dapat memicu terjadinya penyakit. Stres sedang terjadi lebih
lama, dari beberapa jam hingga beberapa hari. Contoh dari stresor yang dapat
menimbulkan stres sedang adalah kesepakatan yang belum selesai, beban kerja
yang berlebihan, mengharapkan pekerjaan baru, dan anggota keluarga yang pergi
dalam waktu yang lama.
Stres berat
adalah stres kronis yang terjadi beberapa minggu sampai beberapa tahun. Contoh
dari stresor yang dapat menimbulkan stres berat adalah hubungan suami istri
yang tidak harmonis, kesulitan finansial, dan penyakit fisik yang lama.
B.
Olahraga
Di dalam
deklarasi International Council of Sport
and Physical Education tentang olahraga dinyatakan bahwa olahraga ialah
setiap kegiatan fisik yang bersifat permainan dan yang berupa perjuangan
terhadap kekuatan-kekuatan alam tertentu (dalam Soejono & Harjadi, 1984).
Teratur menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah berturut-turut dengan tetap
(dalam Setiawan, 2012).
1.
Jenis
olahraga
Meskipun olahraga boleh mencakup ratusan jenis
aktivitas fisik, tetapi olahraga dapat dibagi kepada 5 jenis secara fisiologis
yaitu: isometrik, isotonik, isokinetik, aerobik dan anaerobik. Setiap jenis
olahraga tersebut memiliki tujuan, aktivitas dan penganjur yang berbeda. Setiap
jenis olahraga tersebut dapat menyumbang kepada aspek kesehatan ataupun
kesehatan jasmani, tapi hanya olahraga jenis aerobik berfaedah terhadap
kesehatan kardiorespiratori (Brannon & Feist, 2007 dalam Pin, 2011).
a. Isometrik
Olahraga isometrik dilakukan dengan kontraksi otot
pada objek yang tidak bergerak. Walaupun tubuh kita tidak bergerak ketika
melakukan olahraga isometrik, tetapi otot tetap mendorong kuat antara satu sama
lain ataupun terhadap objek yang tidak bergerak tersebut. Oleh karena
persendian tidak bergerak maka tidak jelas kelihatan bahwa olahraga dilakukan,
tetapi kontraksi otot menghasilkan kekuatan. Olahraga isometrik dapat
meningkatkan kekuatan otot.
b. Isotonik
Olahraga isotonik memerlukan kontraksi otot dan
gerakan persendian. Angkat besi dan olahraga yang berupa kalistenik termasuk
dalam kategori olahraga isotonik. Olahraga isotonik dapat meningkatkan kekuatan
otot dan daya tahan otot.
c. Isokinetik
Seperti olahraga isometrik, olahraga isokinetik
memerlukan aktivitas angkat besi dengan tambahan usaha untuk mengembalikan ke
posisi asal. Olahraga ini memerlukan peralatan yang khusus untuk mengatur
kuantitas resistensi berdasarkan kuantitas gaya yang telah diaplikasikan.
Olahraga isokinetik sering digunakan untuk memulihkan kekuatan otot dan daya
tahanan otot pada orang yang menderita luka-luka pada otot. Olahraga isokinetik
merupakan tambahan yang berarti pada rehabilitasi fisik yang membantu orang
yang terluka ototnya untuk mengembalikan kekuatan dan fleksibilitas secara aman
daripada olahraga jenis yang lain.
d. Anaerobik
Olahraga anaerobik membutuhkan ledakan energi yang
intensif dalam durasi yang pendek. Akan tetapi ia tidak memerlukan konsumsi
oksigen yang tinggi. Olahraga anaerobik dapat memperbaiki kecepatan dan daya
tahan otot, tetapi harus berhati-hati karena ia boleh menjadi bahaya pada orang
yang menderita penyakit jantung koroner.
e. Aerobik
Olahraga aerobik adalah olahraga yang meningkatkan konsumsi oksigen
secara dramatis dalam jangka waktu yang panjang. Karakteristik penting untuk
olahraga aerobik adalah intesitas dan durasinya. Dari segi intensitas, olahraga
aerobik harus meningkatkan denyutan nadi sampai ke tingkat tertentu. Intensitas
untuk olahraga aerobik bervariasi sebanyak 50-80% dari denyutan jantung
maksimal. Olahraga aerobik fokus pada peningkatan daya tahan kardiovaskular.
2.
Olahraga untuk daya tahan tubuh (endurance)
Daya tahan adalah kemampuan seseorang melaksanakan
gerak dengan seluruh tubuhnya, dalam waktu yang cukup lama dan dengan tempo
sedang sampai cepat, tanpa mengalami rasa sakit dan kelelahan berat (Sajoto,
1995).
Daya tahan atau endurance
dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, daya tahan otot (muscular endurance/ strength
endurance) yaitu daya tahan yang menunjukkan kemampuan otot atau sekelompok
otot dalam melaksanakan tugasnya dengan waktu yang cukup lama. Latihan yang
dilakukan untuk keperluan ini dapat dilaksanakan secara ritmik dan berulang-ulang.
Akibat latihan ini dapat dirasakan dengan timbulnya kelelahan pada otot
seetempat yang berlatih. Kedua, daya tahan umum (cardiorespiratory endurance) yang bersangkutan dengan kemampuan
kerja jantung, peredaran darah, dan pernapasan. Latihan ini bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan seluruh tubuh untuk selalu bergerak dalam tempo sedang
sampai cepat, yang cukup lama (Sajoto, 1995).
Dalam latihan cardiorespiratory
endurance untuk orang dewasa, perlu diterapkan empat prinsip dasar sebagai
berikut:
a.
Tipe latihan
Tiap latihan yang mengikut sertakan sebagian besar
otot tubuh, terutama otot-otot panggul dan tungkai yang bersifat ritmik dan
terus-menerus, akan memberikan efek latihan yang dikehendaki. Contoh yang baik
ialah jalan, berlari, bersepeda dan berenang (Soejono & Harjadi, 1984).
b.
Intensitas latihan
Para ahli di bidang faal kerja/ latihan sepakat bahwa beban ± 70% beban
maksimal akan memberikan efek latihan yang baik, sedangkan beban yang lebih
rendah dari 60% beban maksimal efisiensinya kurang. Tetapi beban yang melebihi
90% kapasitas aerobik maksimal berbahaya. Dipandang dari segi keamanan,
dianjurkan untuk mempergunakan beban antara 60-80% untuk memperoleh latihan
yang efektif (Soejono & Harjadi, 1984). Perkiraan beban ini dilakukan
dengan menghitung frekuensi denyut jantung maksimal yang dapat diperkirakan dengan rumus:
Frekuensi denyut jantung maksimal (HRmax) =
220 – umur (tahun)
|
c.
Frekuensi latihan
Berapa jumlah frekuensi latihan yang efektif, tergantung kepada sifat
olahraga yang dilakukannya. Menurut Fox dan Methews (dalam Sajoto, 1995)
mengemukakan bahwa frekuensi latihan 3-5 kali per minggu untuk endurance, adalah cukup efektif.
d.
Durasi latihan
Durasi latihan berbanding terbalik dengan intensitas latihan. Beban
latihan yang berat memerlukan waktu yang lebih pendek daripada beban yang lebih
ringan (Soejono & Harjadi, 1984). Menurut Brooks dan Fahey (dalam Sajoto,
1995) mengemukakan bahwa latihan hendaknya dengan waktu antara 20-60 menit
dalam intensitas tidak terlalu tinggi. Sedangkan untuk olahraga yang banyak
dilakukan dengan gerakan lari-berhenti-lari, maka lama latihan sekurang-kurangnya
45 menit.
3.
Manfaat
olahraga
Bila melakukan
cukup banyak olahraga dan mengikuti sistem nilai (intensitas, durasi,
frekuensi, tipe) yang tepat, akan diperoleh perubahan-perubahan yang
menakjubkan di dalam tubuh. Perubahan –perubahan ini secara kumulatif dikenal
sebagai pengaruh latihan (training effect).
Menurut Cooper (1983), pengaruh latihan antara lain:
a. Meningkatkan efisiensi kerja paru-paru, yang
memungkinkan paru-paru seseorang yang terlatih bisa bisa memperoses udara lebih
banyak dengan tenaga yang lebih sedikit.
b. Meningkatkan efisiensi kerja jantung dalam
beberapa segi. Jantung semakin kuat dan bisa memompakan darah lebih banyak
dalam setiap denyutan. Jumlah denyutan semakin berkurang.
c. Meningkatkan jumlah dan ukuran
pembuluh-pembuluh darah yang menyalurkan darah ke seluruh jaringan tubuh,
mengisi penuh seluruh jaringan tubuh dengan oksigen untuk pembentukan energi.
d. Meningkatkan volume darah. Ini berarti pula
lebih meningkatkan sarana penyaluran oksigen lebih banyak ke seluruh jaringan
tubuh.
e. Meningkatkan ketegangan otot-otot dan
pembuluh darah, mengubah jaringan yang lemah dan lunak menjadi jaringan yang
kokoh dan kuat.
f. Meningkatkan
konsumsi oksigen maksimal. Ini dicapai dengan cara meningkatkan efisiensi kerja
semua sarana penyedia dan penyalur oksigen. Dalam proses peningkatan ini, makin
meningkat pula kondisi tubuh secara menyeluruh, terutama bagian-bagian tubuh
yang terpenting (paru-paru, jantung, pembuluh darah dan seluruh jaringan
tubuh). Maka terbentuklah benteng pertahanan yang kuat untuk bertahan dari
berbagai macam penyakit.
g. Mengubah pandangan hidup. Bisa belajar
bagaimana rileks, mengembangkan pengenalan diri yang lebih baik dan bisa lebih
baik dalam menyesuaikan diri dengan tekanan hidup sehari-hari.
C.
Hubungan stres dan olahraga
Ketika mengalami sebuah hal baru, tubuh bereaksi
dengan memberikan respon stres. Respon stres memicu peningkatan rasio Dehidroepiandosterone
(DHEA) dan kortisol. Melalui HPA Axis
atau jaras Hipotalamus-Pituitary-Adrenal akan memicu Adrenal (ginjal) untuk
mensekresi hormon kortisol. DHEA dan kortisol mempunyai efek yang
berkebalikan (saling mengurangi) agar terjadi homeostasis dalam tubuh. Jika
tubuh memproduksi lebih banyak DHEA daripada kortisol, disebut respon yang
positif. Sebaliknya jika kortisol yang terlalu tinggi, disebut respon yang negatif
(Abdilah & Nurhayati, 2008). Kortisol
bila berlebihan akan menurunkan sistem imun, membuat perih lambung, juga
meningkatkan risiko jantung & stroke (Jati, 2012).
Endorfin atau beta-endorfin merupakan neurotransmitter
opioid endogen yang memiliki efek analgesik dan adiktif (seperti halnya morphin
dan kodein). Selain itu endorfin juga dapat memberikan perasaan nyaman, tenang
(relaksasi) dan beberapa sumber mengatakan endorfin dapat meningkatkan sistem
kekebalan tubuh dan menekan pertumbuhan kanker (Abdilah & Nurhayati, 2008). Hormon ini dikeluarkan salah satunya saat
berolahraga. Inilah mengapa setelah melakukan olahraga aerobik (renang, jogging, bersepeda) membuat merasa lebih
fresh dan menyenangkan (Jati, 2012).
Di samping
itu, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa olahraga dapat menurunkan
insiden dan keparahan gangguan mood yang berkaitan dengan stres termasuk
ansietas dan depresi. Efek ini berhubung dengan peningkatan neurotransmiter
terutamanya serotonin dan dopamin dan juga sekresi endorfin (Greenwood &
Fleshner, 2008). Maka, olahraga adalah salah satu cara yang sungguh bermanfaat
untuk melawan efek stres terhadap kesehatan yang merugikan (Castro, Wilcox.
O’Sullivan, Baumann, & King, 2002).
D.
Penelitian yang relevan
Penelitian (Nabkasorn, Et al, 2005): Effects of physical exercise on depression,
neuroendocrine stress hormones and physiological fitness in adolescent females
with depressive symptoms. Metode: Empat puluh sembilan sukarelawan perempuan
(usia 18 - 20 tahun, mean 18,8 ± 0,7
tahun) dengan gejala depresi ringan sampai sedang, seperti yang telah diukur
dengan Centre for Epidemiologic Studies
Depression (CES-D) scale, secara
acak subyek kemudian diberikan program latihan jogging training dengan intensitas ringan selama delapan minggu
yang terdiri dari lima kali per minggu dan 50 menit tiap sesinya. Hasil: Setelah
sesi latihan skor depresi CES-D keseluruhan menunjukkan penurunan yang
signifikan.
Penelitian (Lubis & Simanjuntak, 2007): Perbedaan Mood Ditinjau dari Kebiasaan Berolahraga.
Metode: Melibatkan 120 orang dewasa muda di Medan. Para responden
berpartisipasi dalam penelitian ini adalah orang-orang yang memenuhi kriteria: pekerja
pria atau wanita, usia 20-40 tahun. Metode yang digunakan untuk memilih responden
adalah non-probability incidental
sampling. Data yang dikumpulkan dalam Penelitian diuji dengan menggunakan
Analisis Varians. Alat ukur yang digunakan adalah mood scale dan stages of
exercise self report. Hasil: Adanya perbedaan mood yang sangat signifikan ditinjau dari kebiasaan berolahraga
(dengan reliabilitas skala mood =
0,922), dimana subyek yang berolahraga secara teratur selama enam bulan (lebih)
mengalami mood yang lebih positif
dari subyek lainnya.
Penelitian (Greenwood & Fleshner, 2008): Exercise, Learned Helplessness, and the
Stress-Resistant Brain. Metode: peneliti menggunakan model hewan untuk menjelaskan
mekanisme potensial yang mendasari efek protektif aktivitas fisik. Menggunakan
konsekuensi perilaku stres tak terkendali atau learned helplessness sebagai analog perilaku depresi dan kecemasan
hewan seperti pada tikus, peneliti menyelidiki faktor-faktor yang bisa menjadi
penting bagi antidepresan dan anxiolytic sifat latihan (yaitu, wheel running). Hasil: Wheel running mencegah learned helplessness serta bisa menjelaskan neurobiologi kompleks depresi
dan kecemasan, berpotensi membimbing strategi baru untuk pencegahan stres yang berhubungan
dengan mood disorders.
E.
Kerangka pikir
Subyek
|
Stres
|
Berolahraga teratur
|
Uji korelasi
|
Gambar 2.1
Kerangka pikir
Keterangan gambar 2.1:
Stres terjadi
jika seseorang dihadapkan pada suatu peristiwa atau keadaan yang mereka rasakan
sebagai suatu hal yang mengancam kesehatan fisik atau psikologisnya. Berolahraga
teratur dapat membuat seseorang lebih tahan terhadap stres, bahkan depresi.
Pasalnya, dengan melakukan olahraga yang cukup takarannya dapat meningkatkan
kadar endorphin dalam tubuh. Penelitian ini untuk mengetahui apakah ada
hubungan antara berolahraga teratur dengan tingkat stres melalui uji korelasi.
F.
Kerangka konsep
Subyek
|
Pengukuran
keteraturan berolahraga dengan kuisioner
|
Hasil pengukuran
dianalisa
|
Pengukuran
tingkat stress
dengan Perceived Stress Scale
|
Gambar 2.2
Kerangka konsep
Keterangan
gambar 2.2:
Subyek penelitian ini adalah mahasiswa D-III tingkat
satu fisioterapi Politeknik Kementerian Kesehatan Surakarta angkatan 2012-2013 yang
bersedia berpartisipasi. Kemudian dilakukan pengukuran keteraturan berolahraga
menggunakan kuisioner serta dilakukan pengukuran tingkat stres menggunakan Perceived Stress Scale. Selanjutnya
hasil pengukuran dari keduanya dianalisa, apakah ada hubungan antara
berolahraga teratur dengan tingkat stres.
G.
Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah adanya hubungan
antara berolahraga teratur dengan tingkat stres pada mahasiswa tingkat satu fisioterapi Politeknik Kementerian
Kesehatan Surakarta angkatan 2012-2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar