Fisioterapi

Fisioterapi
kami disini sharing tentang dunia fisioterapi, kalau ada ilmu baru atau masukan bisa langsung komentar atau email, makasih

BAB II PENGARUH SENAM LANSIA TERHADAP TINGKAT STRES


PENGARUH SENAM LANSIA TERHADAP TINGKAT STRES
PADA LANSIA

SKRIPSI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Menyelesaikan Program Pendidikan Diploma IV Fisioterapi


Diajukan oleh :
Desy Erna Pratiwi
P27226012021

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV TRANSFER
JURUSAN FISIOTERAPI
POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA
2013


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.      Lanjut Usia
1.    Definisi
Penuaan (menjadi tua=aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Definisi lain menyatakan bahwa penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan terus-menerus, dan berkesinambungan. Selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada tubuh, sehingga akan memengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Basuki, 2008).
Lanjut Usia adalah tahap akhir siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses kehidupan yang tak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagian dari proses penuan normal, seperti rambut yang mulai memutih, kerut-kerut ketuaan di wajah, berkurangnya ketajaman panca indera, serta kemunduran daya tahan tubuh, merupakan acaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka harus berhadapan dengan kehilangan-kehilangan peran diri, kedudukan sosial, serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai. Semua hal tersebut menuntut kemampuan beradaptasi yang cukup besar untuk dapat menyikapi secara bijak (Soejono, 2000).
2.    Batasan Lanjut Usia
Badan kesehatan dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu: (1) usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, (2) lanjut usia (elderly) 60-74 tahun, (3) lanjut usia tua (old) 75-90 tahun, dan (4) usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun. Menurut DepKes dikutip dari Azis (1994) lansia digolongkan menjadi 3 kelompok yaitu : (1) kelompok lansia dini (55-64 tahun), (2) kelompok lansia (65 tahun keatas), dan (3) kelompok lansia resiko tinggi (berusia lebih dari 70 tahun).
3.    Teori Proses Menua
a.    Teori genetik
Teori genetik adalah menua telah terprogram secara genetik untuk spesies tertentu, menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul atau DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi suatu jam genetik yang telah diputar menurut suatu replikasi, jam ini akan menghitung mitosis dan menghentikan replikasi sel bila tidak diputar. Jadi menurut konsep ini bila jam itu berhenti akan meninggal dunia meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan atau penyakit (Darmojo, 2000).
b.    Teori mutasi somatik
Menurut teori ini faktor lingkungan yang menyebabkan mutasi somatik, sebagai contoh adanya radiasi dan zat kimia dapat memperpendek umur sebaliknya menghindarinya dapat memperpanjang umur. Menurut teori ini terjadinya mutasi yang progresif pada DNA sel somatik, akan menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan fungsi sel tersebut (Healthy Enthusiast, 2012).
c.    Teori rusaknya sistem imun tubuh
Teori rusaknya sistem imun tubuh dimana mutasi yang berulang atau perubahan protein pascatranslasi dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri. Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya. Adanya kerusakan sistem imun tubuh berbentuk sebagai proses heteroimunitas maupun auto imunitas. Mutasi yang berulang dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenai dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya. Peristiwa inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autonium (Darmojo, 2000).
d.      Teori radikal bebas
Dikatakan radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, dan di dalam tubuh jika fagosit pecah, dan sebagai produk sampingan di dalam rantai pernapasan mitokondria. Radikal bebas bersifat merusak karena sangat reaktif sehingga dapat bereaksi dengan DNA, protein, atau asam lemak tak jenuh. Walaupun ada system penangkal namun sebagian radikal bebas tetap lolos, bahkan makin lanjut usia makin banyak radikal bebas yang terbentuk sehingga proses pengrusakan terus terjadi, kerusakan sel makin lama makin banyak dan akhirnya sel mati. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi (Healthy Enthusiast, 2012).
4      Akibat Proses Menua
Faktor-faktor perubahan proses menua dipengaruhi oleh faktor endogenik dan eksogenik (Darmojo, 2009), yang dapat diartikan sebagai faktor internal dan faktor eksternal pada perubahan proses menua.
a.    Faktor internal
Pengaruh faktor-faktor internal seperti terjadinya penurunan anatomik, fisiologik dan perubahan psikososial pada proses menua makin besar, penurunan ini akan menyebabkan lebih mudah timbulnya penyakit dimana batas antara penurunan tersebut dengan penyakit seringkali tidak begitu nyata (Darmojo,2000). Penurunan anatomik dan fisiologik dapat meliputi:
1)   Sistem saraf pusat
Berat otak akan menurun sebanyak sekitar 10%-12% selama hidup, perbandingan substansi kelabu : substansi putih pada umur 20 = 1,28 : 1, pada umur 50 = 1,13 : 1 dan pada umur 100 = 1,55:1 (Tilarso,1988). Disamping itu meningen menebal, giri dan sulci otak berkurang kedalamannya, kelainan ini tidak menyebabkan gangguan patologi yang berarti. Pada pembuluh darah terjadi penebalan intima akibat proses aterosklerosis dan tunika media berakibat terjadi gangguan vaskularisasi otak yang dapat menyebabkan stroke dan demensia vaskuler sedangkan pada daerah hipotalamus menyebabkan terjadinya gangguan saraf otak akibat pengaruh berkurangnya berbagai neurotransmitter (Martono, 2009).
Pada beberapa penderita tua terjadi penurunan daya ingat dan gangguan psikomotor yang masih wajar. Keadaan ini tidak menyebabkan gangguan pada aktifitas hidup sehari-hari, biasanya dikenali oleh keluarga atau teman karena sering mengulang pertanyaan yang sama atau lupa kejadian yang baru terjadi (Tilarso, 1988).
2)   Sistem kardiovaskuler
Dinding ventrikel kiri sampai usia 80 tahun menjadi 25% lebih tebal dari usia 30 tahun, cardiac output turun 40% atau kira-kira kurang dari 1% per tahun, denyut jantung maksimal pada dewasa muda = 195x/menit, pada 65 tahun= 170x/menit, tekanan darah rata-rata umur 20-24 tahun pada wanita 116/70 pria 122/76 dan pada umur 60-64 tahun wanita 142/85 dan pria 140/85 (Tilarso, 1988).
Walaupun tanpa adanya penyakit pada usia lanjut jantung sudah menunjukkan penurunan kekuatan kontraksi, kecepatan kontraksi dan isi sekuncup. Terjadi pula penurunan yang signifikan dari cadangan jantung dan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan curah jantung (Martono, 2009).
3)   Sistem pernapasan
Sistem respirasi sudah mencapai kematangan pertumbuhan pada usia 20-25 tahun, setelah itu mulai menurun fungsinya, elastisitas paru menurun, kekakuan dinding dada meningkat, kekuatan otot dada menurun. Semua ini berakibat menurunnya rasio ventilasi-perfusi di bagian paru yang tak bebas dan pelebaran gradient alveolar arteri untuk oksigen, disamping itu ada penurunan gerak silia di dinding sistem pernapasan, penurunan reflek batuk yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi akut pada saluran pernapasan (Martono, 2009).
4)   Sistem metabolisme
Pada sekitar 50% usia lanjut menunjukkan intoleransi glukosa dengan kadar glukosa darah puasa yang normal, frekuensi hipertiroid tinggi pada usia lanjut, sedangkan hipotiroid merupakan penyakit yang terutama terjadi antara usia 50-70 tahun dengan gejala yang tidak mencolok sehingga sering tidak terdiagnosis (Martono, 2009).
5)   Sistem ekskresi
Pada usia lanjut ginjal mengalami perubahan yaitu terjadi penebalan kapsula Bouwman dan gangguan permeabilitas terhadap zat yang akan difiltrasi, nefron secara keseluruhan mengalami penurunan dan mulai terlihat atropi, aliran darah di ginjal pada usia 75 tahun tinggal sekitar 50% dibanding usia muda tetapi fungsi ginjal dalam keadaan istirahat tidak terlihat menurun, barulah apabila terjadi stres fisik ginjal tidak dapat mengatasi peningkatan kebutuhan tersebut dan mudah terjadi gagal ginjal (Martono, 2009).
6)   Sistem muskuloskeletal
Otot-otot mengalami atrofi disamping sebagai akibat berkurangnya aktifitas juga akibat gangguan metabolik atau denervasi syaraf, hal ini dapat diatasi dengan memperbaiki pola hidup (olahraga atau aktifitas yang terprogram). Dengan bertambahnya usia proses perusakan dan pembentukan tulang melambat terutama pembentukkannya hal ini akibat menurunnya aktifitas tubuh juga akibat menurunnya hormon estrogen pada wanita, vitamin D dan beberapa hormon lainnya (parahormon dan kalsitonin), trabekula tulang menjadi lebih berongga berakibat sering mudah patah tulang akibat benturan ringan atau spontan (Martono, 2009).
7)   Kondisi psikososial
Kondisi psikososial meliputi perubahan kepribadian yang menjadi faktor predisposisi yaitu gangguan memori, cemas, gangguan tidur, perasaan kurang percaya diri, merasa diri menjadi beban orang lain, merasa rendah diri, putus asa dan dukungan sosial yang kurang. Faktor sosial meliputi perceraian, kematian, berkabung, kemiskinan, berkurangnya interaksi sosial dalam kelompok lansia mempengaruhi terjadinya depresi. Respon prilaku seseorang mempunyai hubungan dengan kontrol sosial yang berkaitan dengan kesehatan (Tucker et al, 2006).
Penelitian menyebutkan adanya hubungan aktifitas interpersonal yang kurang dengan timbulnya stres. Kegiatan sosial adalah kegiatan pendekatan sosial yang dilaksanakan untuk meningkatkan keterampilan berinteraksi dengan lingkungan. Mengadakan diskusi, tukar pikiran, bercerita, bermain, atau mengadakan kegiatan-kegiatan kelompok seperti pengajian, kesenian, kursus, olahraga dan lainnya merupakan implementasi dari pendekatan ini agar lansia bersangkutan dapat berinteraksi dengan sesama lansia maupun dengan petugas kesehatan. Semakin berkurangnya kegiatan sosial maka semakin tidak berkembang dan kecil kesempatan lansia untuk mengaktualisasikan diri (Hurlock,1996).
b.    Faktor eksternal
Faktor eksternal yang berpengaruh pada percepatan proses menua antara lain gaya hidup, faktor lingkungan dan pekerjaan. Gaya hidup yang mempercepat proses penuaan adalah jarang beraktifitas fisik, perokok, kurang tidur dan nutrisi yang tidak teratur. Hal tersebut dapat diatasi dengan strategi pencegahan yang diterapkan secara individual pada usia lanjut yaitu dengan menghentikan merokok, seperti diketahui bahwa merokok akan menyebabkan berbagai penyakit antara lain PPOM (penyakit paru obstruksi kronis), kanker dan hipertensi, upaya penghentian merokok tetap bermanfaat walaupun individu sudah berusia 60 tahun atau lebih.
Faktor lingkungan, dimana lansia manjalani kehidupannya merupakan faktor yang secara langsung dapat berpengaruh pada proses menua karena penurunan kemampuan sel, faktor-faktor ini antara lain zat-zat radikal bebas seperti asap kendaraan, asap rokok meningkatkan resiko penuaan dini, sinar ultraviolet mengakibatkan perubahan pigmen dan kolagen sehingga kulit tampak lebih tua. Radikal bebas diartikan sebagai molekul yang relatif tidak stabil mempunyai satu elektron atau lebih yang tidak berpasangan diorbit luarnya, molekul ini sangat reaktif mencari pasangan elektronnya, jika terbentuk dalam tubuh maka akan terjadi reaksi berantai yang menghasilkan radikal bebas baru dan terus bertambah dengan semakin banyaknya sel-sel yang rusak yang pada akhirnya sel tersebut mati, adanya radikal bebas sel-sel tidak dapat regenerasi. Rantai-rantai inilah yang memicu timbulnya penyakit-penyakit degenerasi seperti kardiovaskuler parkinson, alzheimer dan penuaan (Hardiwinoto, 2005).
B.     Stres
1.    Definisi
Stres adalah respon fisik normal terhadap peristiwa yang membuat seseorang merasa terancam atau mengganggu keseimbangannya dalam beberapa cara. Ketika seseorang merasakan bahaya, tubuh akan melakukan pertahanan secara otomatis, yang dikenal dengan fight or flight reaction atau reaksi stres. Respon fisiologis ini mendorong seseorang untuk menyerang atau melarikan diri (Smith et al, 2012).
Stres menurut Dadang Hawari adalah reaksi atau respon terhadap stressor  psikososial yang berupa tekanan mental atau beban kehidupan. Stres secara umum adalah reaksi tubuh terhadap situasi yang menimbulkan tekanan, perubahan, dan ketegangan emosi ( Sunaryo, 2004).
Lazarus (1977) menjelaskan bahwa stress dapat diartikan sebagai: (1) Stimulus yaitu stres merupakan kondisi atau kejadian tertentu yang menimbulkan stres atau disebut juga dengan stressor, (2) Respon yaitu stres merupakan suatu respon atau reaksi individu yang muncul karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan stres. Respon yang muncul dapat secara psikologis, seperti: takut, cemas, sulit berkonsentrasi dan mudah tersinggung, (3) Proses yaitu stres digambarkan sebagai suatu proses dimana individu secara aktif dapat mempengaruhi dampak stress melalui strategi tingkah laku, kognisi maupun afeksi.
2.    Etiologi dan Faktor Resiko
a.    Etiologi
Stres akan muncul jika ada yang memicunya untuk muncul. Segala tuntutan dan tekanan yang dapat menyebabkan stres disebut stressor. Dengan kata lain, stressor adalah segala kondisi atau peristiwa yang menimbulkan respon stres dari seseorang. Stressor dapat mengganggu kondisi fisik, emosional, intelektual, sosial, ekonomi, ataupun spiritual dalam diri seseorang. Stressor pun dapat berupa hal yang nyata dan imajinasi, tetapi respon manusia terhadap penyebab stres apapun selalu nyata (Girdano et al, 2005).
Stresor merupakan semua faktor yang mempengaruhi timbulnya stress yang mengganggu keseimbangan dalam tubuh. Sumber-sumber stres (Bart Smet dalam Indriana, 2010).
1)   Dari dalam diri
Stres akan muncul dalam seseorang melalui penilaian dari kekuatan motivasional yang melawan bila seseorang mengalami konflik. Konflik merupakan sumber utama stres.
2)   Dari keluarga
            Stres dapat bersumber dari interaksi di antara para anggota keluarga seperti perselisihan dalam masalah keuangan, kehadiran anggota keluarga baru, perselisihan dalam masalah keuangan, perasaan saling acuh tak acuh, perbedaan yang tajam dalam menentukan tujuan, atau keluarga yang tinggal di lingkungan yang terlalu sesak. Stresor lain dalam keluarga adalah kehilangan anak yang disayangi akibat bencana alam, kesakitan atau kecelakaan, kematian suami atau istri.
3)   Di dalam komunitas
            Interaksi di luar lingkungan keluarga melengkapi sumber-sumber stres, misalnya pengalaman stres anak di sekolah. Sedangkan beberapa pengalaman stres orangtua bersumber dari lingkungan kerjanya. Faktor lingkungan yang lain adalah lingkungan fisik seperti kebisingan dan suhu.
Macam-macam stresor antara lain: (1) stressor biologis (panas, dingin, nyeri, trauma fisik, kekurangan nutrisi), (2) stressor psikiologis (kritik, kehilangan, takut, krisis situasi), (3) stressor sosial (diasingkan, status sosial dan ekonomi, perubahan tempat tinggal dan kerja) (Indriana dkk, 2010).
b.    Faktor Resiko
Para lansia juga sangat rentan terhadap gangguan stres karena secara alamiah mereka telah mengalami penurunan kemampuan dalam mempertahankan hidup, menyesuaikan diri dengan lingkungannya, fungsi badan, dan kejiwaan secara alami. Banyak faktor yang memengaruhi keadaan stres pada lansia ini, diantaranya:
1)   Kondisi Kesehatan Fisik
Para lansia secara alami akan mengalami perubahan struktur dan fisiologis seperti penurunan penglihatan, penurunan sistem pernapasan, penurunan tingkat pendengaran, dan juga penurunan pada persendian serta tulang. Kondisi tersebut akan sangat berpengaruh pada ketahanan tubuh para lansia. Penurunan kondisi fisiologis akan membuat mereka membutuhkan bantuan orang lain sekalipun untuk menyelesaikan pekerjaan yang dulunya ia sanggup selesaikan sendiri. Keadaan yang ia rasakan sebagai membebani orang lain itulah yang juga bisa menjadi sumber stres. Lansia yang sangat rentan terkena stres ialah lansia dengan penyakit degeneratif, lansia dengan keluhan somatik kronis, lansia dengan imobilisasi berkepanjangan serta lansia yang mengalami isolasi sosial.
2)   Kondisi Psikologi
Dalam konteks ini, faktor non-fisik lebih berperan signifikan dalam memengaruhi tingkat stres pada lansia seperti sifat, kepribadian, cara pandang, dan juga tingkat pendidikannya. Lansia yang senantiasa memiliki cara pandang positif disinyalir akan menyelesaikan masalah dengan pendekatan yang positif pula. Lansia yang selalu menyikapi masalah dengan positif, segala tekanan hidupnya akan dianggap kecil dan akhirnya bisa menekan stres.
3)   Kondisi Keluarga
Faktor keluarga juga sangat berperan besar dalam kejadian stres para lansia. Keadaan seperti adanya konflik internal keluarga atau merasa menjadi beban keluarga akan menjadi pemicu utama keadaan stres lansia. Sebenarnya, dukungan keluarga sangat berperan signifikan untuk menjauhkan stres pada lansia.


4)   Lingkungan
Stres pada lansia juga bisa dipicu oleh adanya relasi sosial atau kondisi lingkungannya yang buruk. Kondisi lingkungan seperi macet, kepadatan, bising, dan kumuh bisa menjadi pemicu stres bagi para lansia. Kondisi lingkungan yang buruk tersebut akan berdampak pada ketidaknyamanan hidupnya yang terakumulasi setiap hari sehingga lama-kelamaan bisa membuat dirinya stres (Haryadi, 2012).
3.    Klasifikasi dan Tingkat Stres
a.    Klasifikasi Stres
Selye (dalam Rice, 1992) membedakan stress menjadi dua macam. Penggolongan ini didasarkan atas persepsi individu terhadap stress yang dialaminya :
1)   Distress (stres negatif)
Selye menyebutkan distress merupakan respon terhadap kejadian-kejadian negatif seperti kematian anak, istri, di PHK dari pekerjaan, termasuk di dalamnya jika orang tua memiliki anak yang menderita autis yang juga merupakan cobaan berat. Stres dirasakan sebagai suatu keadaan dimana individu mengalami rasa cemas, ketakutan, khawatir, atau gelisah. Sehingga individu mengalami keadaan psikologis yang negatif, menyakitkan, dan timbul keinginan untuk menghindarinya.

2)   Eustress (stres positif)
Selye menyebutkan bahwa eustress bersifat menyenangkan dan merupakan pengalaman yang memuaskan. Menurut Selye, eustress merupakan respon terhadap kejadian-kejadian positif, seperti mendapatkan undangan pembicara, mendapatkan kenaikan jabatan, dan sebagainya. Hanson (dalam Rice, 1992) mengemukakan frase joy of stress untuk mengeungkapkan hal-hal yang bersifat positif timbul dari adanya performansi individu. Eustress juga dapat meningkatkan motivasi individu untuk menciptakan sesuatu, misalnya untuk menciptakan karya seni.
b.    Tingkatan Stres
Struad dan Sundeen (1998) dalam Maramis (2009) mengelompokkan stres menjadi 3 tingkat :
1)   Stres Ringan
Pada stres tingkat ini sering terjadi di kehidupan sehari-hari dan kondisi ini dapat membantu individu menjadi waspada dan mencegah berbagai kemungkinan yang dapat terjadi.
2)   Stres Sedang
Pada tingkat stres ini individu lebih memfokuskan pada hal penting saat ini dan mengesampingkan yang lain sehingga mempersempit lahan persepsinya.
3)   Stres Berat
Pada tingkat stres ini, persepsi individu sangat menurun dan cenderung memusatkan perhatian pada hal–hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi stres. Individu tersebut mencoba memusatkan perhatian pada lahan lain dan memerlukan banyak pengarahan.
4.    Tanda dan Gejala
Berikut ini adalah tanda-tanda individu yang mengalami stres, diantaranya adalah (Smith, 2012):
a.    Gejala Kognitif
            Gejala kognitif meliputi : (1) masalah dalam memori, (2) sulit berkonsentrasi, (3) sulit mengambil kesimpulan, (4) selalu berpandangan negatif, (5) cemas, (6) ketakutan berlebihan.
b.    Gejala Emosional
            Gejala emosional diantaranya : (1) murung, (2) cepat marah, (3) agitasi, sulit untuk bersantai, (4)  merasa kewalahan, (5) rasa kesepian dan selalu sendirian, (6) depresi dan tidak bahagia.
c.    Gejala fisik
            Gejala fisik berupa : (1) nyeri kepala dan punggung, (2) diare dan sembelit, (3) mual dan pusing, (4) nyeri dada dan berdebar debar, (5) penurunan dalam seks, (6) insomnia, (7) gatal-gatal di kulit.
d.    Gejala Perubahan Perilaku
            Gejala perubahan pada perilaku meliputi : (1) makan berlebihan atau kurang makan, (2) tidur berlebihan atau kurang tidur, (3) menyendiri atau mengisolasi diri dari orang lain, (4) tidak mau bekerja atau mengabaikan tanggung jawab, (5) menggunakan alkohol, rokok, atau obat-obatan sebagai pelarian, (6) gugup (menggigit kuku, mondar mandir).
5.    Coping Stres
Dalam menghadapi stress, setiap orang melakukan coping, yaitu proses mengatur tuntutan internal maupun eksternal yang begitu besar. Ada dua jenis pendekatan dalam melakukan coping, yaitu problem directed, dan emotional directed. Problem directed merupakan cara menyelesaikan stress dengan cara menghadapi stress tersebut secara langsung, sedangkan emotional directed dilakukan dengan cara mengubah aspek-aspek emosional dalam diri agar dapat mengurangi tekanan yang dialaminya (Wortman, 1999).
Teknik coping problem directed memiliki tiga jenis. Pertama confrontational, dilakukan dengan cara yang keras, yaitu menolak perubahan secara langsung dan menolak untuk mengubah cara berpikirnya, melainkan berusaha untuk mengubah cara berpikir orang lain. Kedua, seeking social support, dilakukan dengan meminta orang lain untuk memberikan semangat atau dukungan. Ketiga, planful problem solving, dilakukan dengan mencari cara-cara yang efektif dan mempertimbangkannya berulang kali sebelum akhirnya memutuskan suatu tingkah laku (Wortman, 1999).
Teknik coping emotional directed memiliki lima jenis. Pertama, self-control, dilakukan dengan cara mengontrol diri agar emosi tidak menguasai pikiran dan tingkah laku. Kedua, distancing, dilakukan dengan cara melakukan aktifitas lain untuk menghindari hal yang menyebabkan stress tersebut. Ketiga, reappraisal, dilakukan dengan cara berusaha melihat kejadian yang menyebabkan stress dari perspektif yang berbeda. Keempat, accept responsibility, dilakukan dengan cara melakukan introspeksi, berusaha menyadari kesalahan apa yang telah diperbuat yang kemudian digunakan sebagai suatu pelajaran agar lain kali tidak melakukan kesalahan yang sama. Kelima, escape/avoidance, dilakukan dengan cara tidak mau menerima kenyataan dan berusaha selalu lari dari situasi yang menyebabkan stress tersebut. Teknik ini adalah teknik yang buruk dan dapat menyebabkan seseorang kecanduan obat-obatan (Wortman, 1999).
6.    Manajemen Stres
Ada berbagai cara dalam menghadapi stres yang muncul agar tidak berbahaya bagi kesehatan. Salah satu cara menghadapi stres tersebut dengan cara relaksasi. Saat berelaksasi, tubuh berada dalam keadaan tidak tegang, yang berarti lebih tidak reaktif terhadap stres yang muncul. Salah satu cara relaksasi yang biasa dilakukan adalah dengan menurunkan ketegangan otot. Karena stres mempengaruhi ketegangan otot, maka dengan melemaskan otot-otot, persepsi bahwa seseorang sedang mengalami stres akan menurun. Salah satu cara lain adalah dengan mengatur napas. Relaksasi dapat dicapai dengan cara mengatur napas dengan pola yang konstan (Wortman, 1999).
Cara lain dalam mengatasi stres adalah dengan berolahraga. Olahraga dapat membantu mempersiapkan tubuh dalam menghadapi reaksi fisiologis dari stres. Dengan rajin berolahraga, maka jantung tidak lagi kaget ketika harus berdetak lebih cepat karena stres. Olahraga terbukti dapat menurunkan kecemasan, stres, depresi, dan tekanan (Wortman, 1999).
Guru  Besar Ilmu Faal (Fisiologi) olahraga, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. dr. Muchsin Doewes PFarK, MARS, AIFO, mengatakan olahraga yang teratur dapat menekan penurunan struktur fungsi pada lanjut usia. Penurunan struktur fungsi pada lansia sebenarnya dapat dihambat asal mau berolahraga secara teratur. Jenis olahraga yang sesuai untuk lanjut usia adalah berjalan, bersepeda, renang, dan senam (Sasongko, 2011).
C.    Senam Lansia
1.    Definisi
Imam Hidayat mendefinisikan senam sebagai suatu latihan tubuh yang dipilih dan dikonstruk dengan sengaja, dilakukan secara sadar dan terencana, disusun secara sistematis dengan tujuan meningkatkan kesegaran jasmani, mengembangkan keterampilan, dan menanamkan nilai-nilai mental spiritual.
Menariknya olahraga senam ini dikarenakan gerakan yang dilakukan diiringi dengan musik, membawa keceriaan dalam melakukan gerakan, sehingga senam dapat dijadikan sarana untuk melepas kelelahan baik fisik maupun psikis selain untuk meningkatkan kondisi fisik (Suroto, 2004).
Senam lansia adalah serangkaian gerak nada yang teratur dan terarah serta terencana yang diikuti oleh orang lanjut usia yang dilakukan dengan maksud meningkatkan kemampuan fungsional raga. Senam lansia ini dirancang secara khusus untuk melatih bagian-bagian tubuh serta pinggang, kaki serta tangan agar mendapatkan peregangan bagi para lansia, namun dengan gerakan yang tidak berlebihan. Senam lansia dapat menjadi program kegiatan olahraga rutin yang dapat dilakukan di posyandu lansia atau di rumah dalam lingkungan masyarakat. Senam lansia dilakukan dengan senang hati untuk memperoleh hasil latihan yang lebih baik yaitu kebugaran tubuh dan kebugaran mental  seperti lansia merasa berbahagia, senantiasa bergembira, bisa tidur lebih nyenyak, pikiran tetap segar (Setiawan, 2012).
2.    Manfaat Senam Lansia
Senam lansia akan membantu tubuh tetap bugar dan segar karena melatih tulang tetap kuat, mendorong jantung bekerja optimal, dan membantu menghilangkan radikal bebas yang berkeliaran di dalam tubuh. Dapat dikatakan bugar, atau dengan perkataan lain mempunyai kesegaran jasmani yang baik bila jantung dan peredaran darah baik sehingga tubuh seluruhnya dapat menjalankan fungsinya dalam waktu yang cukup lama (Sumosardjuno, 1995). Dalam Indonesia Nursing (2008) senam lansia disamping memiliki dampak positif terhadap peningkatan fungsi organ tubuh juga berpengaruh dalam meningkatkan imunitas dalam tubuh manusia setelah latihan teratur.
Olahraga dengan teratur seperti senam lansia dapat mencegah atau memperlambat kehilangan fungsional organ. Bahkan dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa latihan atau olahraga seperti senam lansia dapat mengurangi berbagai resiko penyakit seperti hipertensi, diabetes melitus, penyakit arteri koroner dan kecelakaan Semua senam dan aktifitas olahraga ringan sangat bermanfaat untuk menghambat proses degeneratif. Senam ini sangat dianjurkan untuk mereka yang memasuki usia pralansia (45 thn) dan usia lansia (65 thn ke atas) (Sumosardjuno,1995). Dengan mengikuti senam lansia efek minimalnya adalah lansia merasa berbahagia, senantiasa bergembira, bisa tidur lebih nyenyak, pikiran tetap segar. Terlebih karena senam lansia sering dilakukan secara berkelompok sehingga memberikan perasaan nyaman dan aman bersama sesama manusia lanjut usia lainnya dalam menjalani aktifitas hidup (Setiawan, 2012).
Manfaat kesehatan jasmani pada lanjut usia secara fisiologi dampak langsung dapat membantu mengatur kadar gula darah, merangsang adrenalin dan nor-adrenalin, peningkatan kualitas dan kuantitas tidur. Dampak jangka panjang dapat meningkatkan daya tahan aerobik/kardiovaskular, kekuatan otot rangka dan
kelenturan, keseimbangan dan koordinasi gerak serta kelincahan. Dampak secara psikologis dapat membantu memberi perasaan santai, mengurangi ketegangan dan kecemasan, meningkatkan perasaan senang. Dampak jangka panjang dapat meningkatkan kesegaran jasmani dan rohani secara utuh, kesehatan jiwa, fungsi kognitif, penampilan dan fungsi motorik. Manfaat sosial secara langsung dapat membantu pemberdayaan lansia, peningkatan integritas sosial dan budaya. Dampak jangka panjang dapat meningkatkan keterpaduan dan kesetiakawanan (Tilarso,1988).


3.    Gerakan Senam Lansia
Senam lansia yang dibuat oleh Menteri Negara Pemuda dan Olahraga merupakan suatu upaya peningkatan kesegaran jasmani kelompok lansia yang jumlahnya semakin bertambah, sehingga perlu kiranya diberdayakan dan dilaksanakan secara benar, teratur, dan terukur. Adapun bentuk latihan senam lansia (Menpora, 2000) sebagai berikut :
a.    Sikap Permulaan dan Pemanasan
Tujuannya menyiapkan diri secara fisik dan psikologi untuk melaksanakan senam lansia. Berupa peregangan otot dan gerakan-gerakan pada semua persendian. Sikap permulaan, berdiri tegak, menghadap ke depan kemudian mengambil nafas dengan mengangkat kedua lengan membentuk huruf V.
b.    Gerakan Inti
Berupa gerakan-gerakan yang bertujuan untuk penguatan dan pengencangan otot serta untuk meningkatkan keseimbangan. Dimulai dengan gerakan peralihan jalan, tepuk, dan goyang tangan, 2x8 hitungan.
c.    Gerakan Pendinginan
            Tujuan pendinginan bekerja secara bertahap untuk menurunkan suhu tubuh, denyut jantung dan tekanan darah. Berupa gerakan peregangan otot atau berjalan pelan (Suroto, 2004).
Tilarso (1988) menyatakan pelatihan dengan frekuensi tiga kali seminggu 30-60 menit adalah sesuai untuk lanjut usia dan akan menghasilkan peningkatan yang berarti. Mereka yang berusia lebih dari 60 tahun, selain melatih otak, perlu melaksanakan olahraga secara rutin untuk mempertahankan kebugaran jasmani, memelihara serta mempertahankan kesehatan di hari tua.
Senam lansia yang dipilih adalah berupa senam kebugaran untuk lansia dengan tipe low impact exercise. Faktor-faktor seperti mobilitas terbatas dan nyeri dapat membuat perbedaan dalam jenis latihan pada lansia. Senam dengan tipe low impact exercise memungkinkan untuk mengurangi ketegangan pada tubuh sementara masih menyediakan sarana tetap aktif secara fisik.. Berolahraga dalam air, baik berenang atau melakukan aerobik air, adalah pilihan yang baik, seperti bentuk-bentuk lembut yoga, pilates, tai chi, peregangan, dan latihan beban ringan. Banyak latihan dapat dimodifikasi untuk mengakomodasi kebutuhan low impact (Winderlich, 2012).
Low impact exercise adalah jenis latihan yang melibatkan setidaknya satu kaki di tanah setiap saat. Low impact exercise berupa latihan aerobik yang dilakukan untuk jangka waktu lebih lama dan bekerja untuk meningkatkan kebugaran kardiovaskular lansia. Low impact exercise meminimalkan risiko cedera di bagian bawah tubuh. Ini adalah pilihan yang aman yang dapat meningkatkan kepadatan tulang bagi individu yang mungkin memiliki atau berisiko untuk osteoporosis atau patah tulang (Hitchcock, 2011).
4.    Pengaruh Senam Lansia terhadap Stres
Menurut Robert Hoffman dan Thomas R. Collingwood dalam Human Kinetic The Information Leader in Physical Activity and Health dengan judul Reduce Stress Trough Exercise, olahraga pada lansia dapat menjadi sarana untuk mengurangi stres yang efektif dengan cara : (1) latihan dapat berfungsi sebagai sebuah cara melepaskan ketegangan dan kecemasan, (2) latihan dapat menjadi metode relaksasi. Olahraga teratur dapat menjadi pengalih perhatian dari hari-hari stres dan dapat memberikan efek penenang melalui gerakan fisik alami, (3) latihan dapat meningkatkan energi dan toleransi kelelahan, (4) latihan dapat membantu dalam menjaga elastisitas otot dan meminimalkan efek pemendekan otot karena tidak bergerak, (5) latihan dapat meningkatkan kontrol fisiologis. Dengan mengikuti program latihan teratur, tubuh bisa lebih terkontrol dan membantu untuk menormalkan detak jantung, tekanan darah, dan ketegangan otot, (6) berolahraga secara teratur meningkatkan kesejahteraan emosional. Penelitian telah menunjukkan bahwa harga diri dan kepercayaan diri yang meningkat memiliki tingkat stres lebih sedikit. Individu yang berolahraga secara teratur tampil lebih santai dan tidak mudah cemas dan depresi. Satu studi menemukan bahwa olahraga secara signifikan lebih efektif daripada obat penenang untuk mengurangi kecemasan yang berhubungan dengan stres berkepanjangan.
D.    Pengukuran Tingkat Stres
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Depression Anxiety Stress Scale (DASS 42). DASS 42 yang dikembangkan oleh Lovibond dan Lovibond (1995) merupakan alat ukur tingkat depresi, kecemasan, dan stres seseorang yang berupa kuisioner berisi 42 pertanyaan yang harus dijawab oleh subyek penelitian. Masing-masing terdiri dari 14 item pertanyaan. Skala depresi menilai dysphoria, putus asa, devaluasi hidup, sikap meremehkan diri, kurangnya minat/keterlibatan, anhedonia, dan inersia. Skala kecemasan menilai gairah otonom, efek otot rangka, kecemasan situasional, dan subjektif pengalaman mempengaruhi cemas. Skala stres menilai kesulitan bersantai, mudah marah, gelisah, mudah tersinggung dan tidak sabar.
Uji validitas dan reliabilitas terhadap kuisioner DASS 42 menghasilkan nilai α = 0,9483. Hal ini berarti bahwa validitas skala DASS 42 dan reliabilitas dari ketiga skala yang ada di dalamnya adalah baik dan konsisten. Selain itu skala DASS 42 bisa digunakan untuk segala budaya, umur, dan subyek yang sehat maupun subyek sakit.
Penskoran menggunakan 4 kriteria yang dialami oleh responden selama satu minggu terakhir. Dari nilai 0 yang berarti tidak sesuai atau tidak pernah sampai 3 yang artinya sangat sesuai atau sering sekali. Item skala stres adalah 1, 6, 8, 11, 12, 14, 18, 22, 27, 29, 32, 33, 35, 39. Kemudian skor dijumlahkan untuk mendapat nilai total tingkat stres. Kriteria penilaian stres dengan menggunakan DASS 42 sebagai berikut skor 0-14 adalah normal, skor 15-18 stres ringan (mild), skor 19-25 stres sedang (moderat), skor 26-33 stres berat (severe), dan skor >34 stres berat (very severe).
E.     Penelitian Yang Relevan
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Dunn et al (2005) dengan judul “Exercise Treatment for Depression, Efficacy and Dose Response” yang bertujuan untuk mengetahui apakah latihan adalah pengobatan yang efektif untuk depresi ringan sampai sedang dan untuk mengetahui hubungan dosis latihan dan pengurangan gejala depresi. Subyek adalah 80 orang dengan rentang usia 20-40 tahun yang didiagnosa depresi ringan sampai sedang. Satu kelompok diberi aerobic exercise 3 kali seminggu selama 12 minggu dan kelompok lainnya placebo. Hasilnya ada penurunan tingkat depresi pada kelompok yang diberi aerobic exercise.
Westerterp et al (2002) melakukan penelitian dengan judul “Physical activity and oxidative stress in the elderly” dan hasilnya bahwa aktifitas fisik bisa mengurangi stres pada lansia dengan latihan di pusat kebugaran selama 60 menit dengan 3 kali seminggu dalam 8 minggu atau 2 kali seminggu dalam 12 minggu.
Tinker (2009) melakukan penelitian berjudul “Stress and Exercise”. Penelitian ini mengukur efek latihan terhadap tingkat stres. Para peserta dalam penelitian ini adalah 16 siswa. Usia mereka berkisar dari 18 sampai 22. Satu kelompok diminta untuk terlibat dalam aktifitas fisik selama dua menit. Kelompok lainnya tidak terlibat dalam aktifitas fisik. Kemudian kedua kelompok diminta untuk mengambil survei stres lagi. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada tingkat stres kelompok subyek yang terlibat dalam aktifitas fisik dan subyek yang tidak melakukan aktifitas fisik.
Perbedaan penelitian tersebut di atas dengan penelitian penulis saat ini adalah: (1) subyek dan tempat penelitian, (2) jumlah sample yang berbeda dengan penelitian sebelumnya, (3) peneliti melakukan pengukuran tingkat stres dengan Depression Anxiety Stress Scale (DASS 42), (4) peneliti memberikan senam lansia sebagai intervensi untuk mengurangi tingkat stres pada lanjut usia.
F.     Kerangka Teori












Gambar 2.1 Kerangka Teori
Keterangan gambar :
Stressor secara fisik, psikologis, keluarga dan keadaan lingkunan sekitar lansia akan mengakibatkan lansia tersebut mengalami perubahan-perubahan secara intelektual, tingkah laku, perubahan fisik, dan juga emosional pada diri lansia tersebut. Perubahan tersebut merupakan tanda dan gejala timbulnya stres pada lansia. Untuk mengurangi problematik tersebut, salah satu upaya yang diberikan adalah dengan pemberian senam lansia. Dengan pemberian senam lansia diharapkan tingkat stres pada lansia bisa berkurang.
G.    Kerangka Konsep









Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Keterangan gambar :
Subyek adalah lansia dengan stres sesuai kriteria inklusi yang bersedia mengikuti program senam lansia selama penelitian. Subyek diberikan senam lansia. Terdapat faktor-faktor yang bisa mempengaruhi selama penelitian yang bisa dikendalikan oleh fisioterapi yang digambarkan dalam garis putus-putus, dan faktor-faktor dari luar yang tidak bisa dikendalikan digambarkan dalam kotak yang berada di luar garis putus-putus. Selanjutnya dibandingkan tingkat stres sebelum dan setelah dilakukan perlakuan.
H.    Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah bahwa ada pengaruh positif senam lansia terhadap penurunan tingkat stres pada lansia.

3 komentar:

  1. makasih gan, artikelnya bermanfaat banget untuk para lansia, kalo untuk pemilihan baju senam murah seperti apa yg nyaman untuk lansia ya?
    mohon infonya ya..., mkasih gan :)

    BalasHapus
  2. Menarik gan artikelnya dan sangat membantu.... hmmm ngomong2 soal baju senam ada yg tau gk Trend baju senam terbaru saat ini di daerah surabaya ???
    Mohon pencerahannya...

    BalasHapus
  3. bisa d reupload gbr kerangka teori dan kerangka konsep nya om? sudah ga bs dibuka gbr nya. trims

    BalasHapus