Fisioterapi

Fisioterapi
kami disini sharing tentang dunia fisioterapi, kalau ada ilmu baru atau masukan bisa langsung komentar atau email, makasih

BAB IV Hub antara olahraga dengan stress

HUBUNGAN ANTARA BEROLAHRAGA TERATUR DENGAN TINGKAT STRES PADA MAHASISWA TINGKAT SATU FISIOTERAPI POLITEKNIK KEMENTERIAN KESEHATAN SURAKARTA ANGKATAN 2012-2013

SKRIPSI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Menyelesaikan Program Pendidikan Diploma IV Fisioterapi



Diajukan oleh :
Istiazah
P 27226012039






PROGRAM STUDI DIPLOMA IV TRANSFER
JURUSAN FISIOTERAPI
POLITEKNIK KEMENTERIAN KESEHATAN SURAKARTA
                                                                       TAHUN 2013





BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.      Karakteristik Subyek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di auditorium Politeknik Kementerian Kesehatan Surakarta jurusan fisioterapi, jalan Kapten Adi Sumarmo, Tohudan, Colomadu, Karanganyar. Subyek penelitian yang digunakan diambil dari mahasiswa D-III tingkat satu fisioterapi angkatan 2012-2013 Politeknik Kementerian Kesehatan Surakarta yang yang bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dengan mengisi informed consent. Dari 96 orang mahasiswa yang ada, hanya 87 orang yang dapat berpartisipasi dalam penelitian ini, sedangkan 9 orang yang lain tidak dapat berpartisipasi.
Adapun distribusi subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin dan umur, serta distribusi skor dan jawaban kuesioner berolahraga teratur dan tingkat stres adalah sebagai berikut:
1.    Distribusi subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin
Berdasarkan data yang telah di peroleh, jumlah subyek yang berpartisipasi dalam penelitian ini terdiri dari 18 orang laki-laki dan 69 orang perempuan, dengan persentase laki-laki sebesar 20,7% dan persentase perempuan sebesar 79,3%. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 4.1 di bawah ini:

TABEL 4.1
DISTRIBUSI SUBYEK PENELITIAN BERDASARKAN
JENIS KELAMIN
Jenis Kelamin
Frekuensi (n)
Persentase (%)
Perempuan
69
79,3
Laki-laki
18
20,7
Jumlah
87
100

2.    Distribusi subyek penelitian berdasarkan umur
Dari analisis data umur subyek penelitian, diperoleh rerata 18,5632 ± 0,58471 dengan umur termuda 18 tahun dan tertua 20 tahun.

B.     Data Deskriptif
Dari analisis data dapat dilihat bahwa 6 orang mahasiswa (6,9%) dapat dikatakan tidak pernah berolahraga teratur, 71 orang mahasiswa (81,6%) kurang teratur berolahraga dan sebanyak 10 orang mahasiswa (11,5%) teratur berolahraga. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini:






TABEL 4.2
DATA DESKRIPTIF KUESIONER BEROLAHRAGA TERATUR
Berolahraga
Frekuensi (n)
Persentase (%)
Tidak pernah
6
6,9
Kurang teratur
71
81,6
Teratur
10
11,5
Jumlah
87
100

Dari analisis data dapat dilihat bahwa tidak ada mahasiswa (0%) mengalami stres dalam kategori normal, 3 orang mahasiswa (3,4%) mengalami stres ringan, 19 orang mahasiswa (21,8%) mengalami stres sedang, 42 orang mahasiswa (48,3%) mengalami stres berat dan sebanyak 23 orang mahasiswa (26,4%) mengalami stres sangat berat. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.3 di bawah ini:









TABEL 4.3
DATA DESKRIPTIF KUESIONER TINGKAT STRES
Tingkat stres
Frekuensi (n)
Persentase (%)
Normal
0
0
Ringan
3
3,4
Sedang
19
21,8
Berat
42
48,3
Sangat berat
23
26,4
Jumlah
87
100

Dari analisis data dapat dilihat bahwa 3 dari 6 orang mahasiswa (50%) yang masuk dalam kategori tidak pernah berolahraga mengalami stres sangat berat, 37 dari 71 orang mahasiswa (52,1%) yang kurang teratur berolahraga mengalami stres berat, sedangkan 2 dari 10 orang mahasiswa (20%) yang teratur berolahraga mengalami stres ringan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.4 di bawah ini:










TABEL 4.4
DESKRIPTIF FREKUENSI BEROLAHRAGA TERATUR DAN TINGKAT STRES

Berolahraga



Tidak pernah
Kurang teratur
Teratur
Jumlah
Tingkat stres
n
%
n
%
n
%
n
%
Normal
0
0
0
0
0
0
0
0
Ringan
0
0
1
1,4
2
20
3
3,4
Sedang
1
16,7
13
18,3
5
50
19
21,8
Berat
2
33,3
37
52,1
3
30
42
48,3
Sangat berat
3
50
20
28,2
0
0
23
26,4
Jumlah
6
100
71
100
10
100
87
100

C.       Analisa Data
Uji korelasi yang digunakan adalah Rank Spearman. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan nilai signifikansi 0,001 (p < 0,05) yang berarti korelasi antara skor berolahraga teratur dan tingkat stres adalah bermakna. Nilai korelasi Rank Spearman sebesar -0,356 menunjukkan korelasi negatif dengan kekuatan korelasi yang rendah.

D.       Pembahasan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara berolahraga teratur dengan tingkat stres pada mahasiswa tingkat satu fisioterapi Politeknik Kementerian Kesehatan Surakarta angkatan 2012-2013. Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2013 dan data primer ini didapatkan dengan menggunakan kuesioner. Dari penelitian ini didapati hampir separuh dari responden yaitu 42 orang (48,3%) mahasiswa memiliki tingkat stres berat dan lebih dari separuh responden yaitu 71 orang (81,6%) mahasiswa kurang teratur melakukan kegiatan olahraga.
Pada tabel 4.4 menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa mengalami stres, mulai dari tingkat yang ringan sampai dengan sangat berat. Pada penelitian ini, tidak dapat dianalisa apakah lebih banyak laki-laki yang mengalami stres dibandingkan dengan perempuan atau sebaliknya karena jumlah penyebaran jenis kelamin yang tidak merata, yaitu 69 orang perempuan dan 18 orang laki-laki. Sampai sekarang masih tidak ada penelitian yang membuktikan faktor jenis kelamin mempengaruhi kejadian stres pada mahasiswa. Namun, kejadian stres pada kedua jenis kelamin dipengaruhi oleh berbagai faktor. Terutama pada mahasiswa yang berada di dunia perkuliahan yang kompleks dan ditambah dengan grafik usia para mahasiswa yang pada umumnya berada dalam tahap remaja hingga dewasa muda menyebabkan mahasiswa masih labil dalam hal kepribadiannya, sehingga dalam menghadapi masalah, mahasiswa cenderung terlihat kurang berpengalaman yang akhirnya memicu stres (Santrock dalam Pin, 2008).
Hasil uji korelasi yang didapat menunjukkan bahwa ada hubungan antara berolahraga teratur dengan tingkat stres, walaupun rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yaitu The Effect of Physical Exercise on Anxiety yang dilakukan oleh Akandere dan Tekin (2002). Kesimpulan dari penelitian Akandere dan Tekin (2002), terdapat hubungan yang bersifat inversi antara olahraga dengan tingkat kecemasan yang berarti kebiasaan berolahraga bisa menurunkan tahap kecemasan pada mahasiswa.
Olahraga berhubungan negatif dengan tingkat stres, yang berarti bahwa dengan berolahraga secara teratur maka tingkat stres semakin menurun. Menurut Bryant, psikolog olahraga di American Council on Exercise (dalam Lubis & Simanjuntak, 2007), mengatakan bahwa olahraga dapat membantu individu mengatasi stres, depresi ringan dan mood yang dialami. Olahraga dapat mengurangi stres dan akibat stres dengan jalan meningkatkan kadar epinefrin di otak. Orang yang bergembira mempunyai kadar epinefrin yang tinggi. Olahraga meningkatkan aliran darah ke otak sehingga menambah suplai oksigen ke otak, dan keadaan ini akan memperbaiki suasana hati. Olahraga akan menurunkan kadar garam di otak dengan jalan pengeluaran keringat. Penurunan kadar garam di otak akan memperbaiki suasana hati serta akan membuat tidur lebih nyenyak sehingga mengurangi gangguan kejiwaan. Disamping itu berolahraga dapat merilekskan otot lebih efektif dibandingkan dengan mengkonsumsi obat penenang. Lebih dari itu berolahraga dengan intensitas dan durasi cukup dapat memicu pengeluaran hormon beta endorfin, sejenis morfin yang diproduksi oleh tubuh sendiri. Beta endorfin ini akan memberi rasa senang, tenang, nikmat, dan rileks (dalam Kushartanti, 1988).
Harvard University Medical School (dalam Kushartanti, 1988) menemukan bahwa pada mereka yang terkena stres dan mampu mengelolanya, sel pertahanan dan antibodinya akan lebih tinggi. Olahraga teratur merupakan anti stres yang hebat. Olahraga akan mengurangi kecemasan, depresi, dan frustrasi. Pada saat yang sama latihan dapat menstabilkan kepribadian, meningkatkan kepercayaan diri, optimisme, dan perasaan berprestasi. Penelitian telah dilakukan pada dua kelompok pelajar, dengan satu kelompok diberi latihan aerobik selama 14 minggu, sedangkan kelompok lain tidak. Masing-masing kelompok diberi permasalahan yang harus diselesaikan. Karena sebagian besar masalah tidak dapat diselesaikan, maka kedua kelompok terlihat frustrasi, tegang, dan cemas. Meskipun demikian kelompok yang berlatih aerobik menunjukkan gejala yang lebih ringan dibanding kelompok lain. Gejala dipantau dari tekanan darah dan denyut jantungnya (dalam Kushartanti, 1988).
Koefisien determinasi (r2) sebesar 12,7% pada penelitian ini, menunjukkan kontribusi variabel bebas (berolahraga teratur) terhadap variabel terikat (tingkat stres). Dengan kata lain masih ada 87,3% sumbangan variabel lain terhadap tingkat stres mahasiswa.
Salah satu sebab tingkat keeratan hubungan yang rendah antara berolahraga teratur dengan tingkat stres pada penelitian ini adalah setiap individu memberi respon yang berbeda terhadap stres dan ini sangat tergantung kepada kepribadian individual tersebut (Folkman & Moskovitz, 2004). Kepribadian seseorang dapat berpengaruh terhadap respon yang diberikan saat menanggulangi peristiwa yang dapat menimbulkan stres. Selain berolahraga, terdapat metode untuk penanggulangan stres yang lain seperti cara kognitif, emosional dan perilaku (Bernstein & Nash, 2006).
Strategi coping merupakan suatu upaya individu untuk menanggulangi situasi stres yang menekan akibat masalah yang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya sendiri. Menurut Lazarus dan Folkman (1984),  ada dua jenis strategi coping, yaitu: (1) problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres dan (2) emotion-focused coping, dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan.

E.       Hambatan dan Kelemahan Penelitian
Hubungan antara berolahraga teratur dengan tingkat stres pada penelitian ini menggunakan metode penelitian cross-sectional, untuk mendapatkan hasil terbaik diperlukan jumlah subyek penelitian yang besar. Jumlah subyek pada penelitian ini tidak begitu besar sehingga menyebabkan keeratan hubungan yang rendah. Selain itu, penelitian cross-sectional tidak valid untuk meramalkan suatu kecenderungan karena dilakukan pada satu waktu. Penelitian korelasi hanya mengidentifikasi apa yang terjadi tanpa melakukan manipulasi dan mengontrol variabel sehingga tidak dapat membangun hubungan sebab akibat.
Kurangnya kemampuan komunikasi peneliti dalam memberikan sosialisasi tentang kuesioner, memungkinkan terjadinya kesalahan persepsi dalam memahami pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam kuesioner sehingga mempengaruhi jawaban yang diberikan. Selain itu, alat ukur tingkat stres yang mungkin saja kurang sesuai untuk karakteristik subyek dan kuesioner berolahraga teratur yang dibuat sendiri oleh peneliti sebagai peneliti pemula, juga bisa termasuk kelemahan dalam penelitian ini.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar